Jumat, 24 Juni 2011

Teori belajar dan pembelajaran

1.      Koneksionisme
Tokoh paling terkenal dari teori koneksionisme adalah Edward Lee Thorndike. Koneksionisme merupakan teori paling awal dari rumpun behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan antara stimulus-respons. Belajar adalah pembentukan hubungan stimulus -respons sebanyak-banyaknya. Siapa yang menguasai hubungan stimulus-respons sebanyak-banyaknya ialah orang yang pandai atau yang berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons ini dilakukan melalui ulangan-ulangan (Sukmadinata, 2007: 168).
Secara garis besar, teori koneksionisme Thorndike dapat dijelaskan dengan satu kesimpulan bahwa “belajar” dapat terjadi dengan dibentuknya hubungan, atau ikatan, atau asosiasi, atau koneksi netral yang kuat antara stimulus dan respons. Untuk dapat mencapai hubungan antara stimulus dan respons ini, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat, serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (errors) terlebih dahulu. Berdasarkan hal ini, Thorndike mengutarakan bila bentuk paling dasar dari belajar adalah trial and error learning atau selecting-connecting learning dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu (Roziqin, 2007: 64).
Berkaitan dengan prinsip atau hukum dalam belajar, Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum, yaitu:
1                    law of readness, belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut.
2                    law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan, ulangan.
3                    law of effect, belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang lebih baik (Sukmadinata, 2007: 169).

2.     Teori Pembiasaan Klasik (Classical Conditioning)
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936) sebagaimana telah diuraikan di awal. Seperti halnya dengan Thorndike, Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu (Sanjaya, 2006: 115).
Berdasarkan eksperimen dengan menggunakan anjing, Pavlov menyimpulkan bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu (Sanjaya, 2006: 116). Hal ini dikarenakan classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Syah, 1999: 106).
Teori ini disebut classical karena yang mengawali nama teori ini untuk menghargai karya Ivan Pavlov yang paling pertama di bidang conditioning (upaya pembiasaan) serta untuk membedakan dari teori conditioning lainnya (Djaali, 2007: 85).

3.  Teori Pembiasaan Perilaku Respons (Operant Conditioning)

Teori ini dikembangkan oleh Skinner yang juga didasarkan pada teori S-R  dari Thorndike. Skinner juga menggunakan hewan yaitu burung dalam percobaannya. Akan tetapi berbeda dengan Thorndike, Pavlov, dan Watson, Skinner dalam teorinya menyimpulkan bahwa terdapat dua macam respon yang berbeda yaitu respondent response atau reflexive response dan operant response atau  instrumental response (Sanjaya, 2006:116). Kedua respons tersebut secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut ini:
1.    Responde response atau reflexive response adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh teori S-R yaitu respons tertentu yang ditimbulkan oleh situmulus tertentu. Artinya, hubungan antara stimulus dan respons bersifat yang terbatas dan hampir sudah terpola. Oleh sebab itu, respondent response sangat kecil kemungkinannya untuk dimodifikasi.
2.    Operant response atau instrumental respons adalah respons yang timbulnya diikuti oleh munculnya perangsang-perangsang lain atau reinforcing stimulus atau reinforcer. Reinforce ini kemudian akan memperkuat response reflexive yang dilakukan oleh organism. Dengan lain perkataan reinforce menyebabkan terjadinya multiplier effect atau effect rentetan dalam diri seseorang. Karena sifatnya yang demikian itu, maka mungkin saja perilaku dapat dimodifikasi dengan menggunakan operant atau instrumental response.

4.        Teori Gestalt
      Teori gestalt atau teori bentuk yang dikembangkan diantaranya oleh Max Wertheimer seorng psikolog Jerman, Koffaka, dan kohler. Inti dari teori gestalt yang dirangkum dari berbagai sumber  adalah sebagai berikut:
1.      Jika aliran teori behavioristik yang memandang belajar sebagai perilaku mekanistis tanpa adanya peran insight, teori gestalt yang merupakan kelompok aliran kognitif holistic memandang belajar adalah  proses mengembangkan insight atau memahami hubungan antar unsure dalam suatu masalah. Insight yang diperoleh dari pemecahan masalah tertentu satu saat kelak dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam situasi lain.
2.      Masalah yang dihadapi seseorang akan menimbulkan ketidakseimbanagn kognisi dan orang itu akan berusaha memecahkan masalah tersebut guna mencapai kembali keseimbangan kognisi. Dalam konteks ini masalah berfungsi sebagai stimulus untuk menemukan pemecahan masalah. Jadi belajar bukan sekedar menghafal fakta, tetapi memanfaatkan insight untuk memecahkan masalah.
3.      Belajar didasarkan pada pengalaman atau pengorganisasian kembali pengalaman-pengalaman masa lalu yang secara terus menerus disempurnakan. Oleh sebab itu pengalaman dapat memberikan arti dalam kehidupan seseorang. Berpegang kepada prinsip ini. Maka salah satu peran guru dala pembelajaran adalah menciptakan tantangan-tantangan agar siswa memperoleh pengalaman baru dan berharga dari proses belajarnya.
4.      Berdasarkan hasil penelitiannya Max Wertheimer merekomendasikan lima hukum yang saling terkait. Ringkasan dari kelima hukum tersebut  adalah sebagai berikut ini.
a.       Hukum Pragmanz: pengamatan terhadap suatuobjek dikaitkan dengan sesuatu yang berarti dilihat dari susunan, bentuk, ukuran, warna, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, buah yang berwarna merah dianggap sudah masak dan manis rasanya, sedangkan buah yang berwarna hijau dianggap mentah dan asam rasanya.
b.      Hukum Kesamaan (Law of similarity): orang cenderung mengelompokkan gejala berdasarkan sesamaannya bukan perbedaannya. Sebagai contoh, orang akan mengelompokan tumbu-tumbuhan pada jenis akarnya, akar tunggang atau akar serabut.
c.       Hukum Keterdekatan ( Law of Proximity): orang cenderung mengelompokkan gejala berdasarkan kedekatannya dari pada kerendahannya. Sebagai contoh, pembentukan gugus sekolah lebih sering didasarkan pada kedekatan jarak antar sekolah bukan sebaliknya.
d.      Hukum Kontinyuasi ( Law of Contination): objek dilihat sebagai totalitas atau keseluruhan bukan bagian perbagian. Implikasi dari hukum ini adalah cara pndang bahwa:
·         Dalam belajar, siswa tidak menangkap bagian-bagian dari gejala tetapi menangkapnya secara keseluruhan karena keseluruhan lebih penting dari bagian-bagiannya. Sebagai contoh, ketika seseorang melihat sebuah rumah, ia melihatnya secara keseluruhan bukan bagian-bagiannya.
·         Anak yang belajar  merupakan keseluruhan dalam arti bahwa pembelajaran yang dilakukan terhadap anak bukan hanya mengembangkan intelektual saja, tetapi mengembangkan keseluruhan kepribadian anak seutuhnya (Whole Child Education)
e.       Hukum Ketertutupan ( Law of Closure): dalam mengamati suatu objek atau gejala, orang cenderung untuk menutupi atau melengkapi bagian-bagian yang kurang agar menjadi utuh. Sebagai contoh dalam pembelajaran, siswa Taman-Kanak juga sangat tertantang untuk menyusun bangunan rumah atau lainnya dengan menggunakan potong-potongan profil kayu atau dikenal dengan istilah Lego-lego.

5.                     Teori Medan
            Teori medan atau  field theory yang diawali perkembangannya oleh Kurt Lewin dapat dijelaskan dalam bentuk rumus berikut ini (Sudjana: 56).
B = f (P, E), dibaca B adalah sebagai fungsi dari P dan E.
Dengan mana:
B adalah behavior atau perilaku sebagai hasil belajar
P adalah person atau indivisdu
E adalah environment atau lingkungan atau medan.

Jadi menurut rumus Lewin hasil belajar ditentukan oleh individu dan lingkungan. Selanjutnya untuk menganalisis pengaruh lingkungan Lewin mengembangkan teknik FFA ( Force Field Analisis) atau analisis kekuatan medan. Dengan teknik FFA ini kekuatan-kekuatan dibedakan atas kekuatan pendorong (D) atau driving force dan kekuatan penghambat (H) atau restaining force. Untuk mencapai kemajuan atau perubahan perilaku ketingkat tertentu yang diinginkan, maka strategi pembelajaran yang harus dilakukan adalah memperkuat medan pendorong dan memperlemah medan penghambat.
Selain strategi diatas, bahasan yang dikemukakan tentang teori medan adalah bahwa medan yang dikembangkan oleh Lewin memiliki kesamaan dengan teori Gestalt yaitu menganggap bahwa belajar adalah pemecahan masalah. Menurut Lewin, ada dua hal yang terkait dengan pemecahan masalah sebagai proses belajar  ( Sanjaya: 120-121) yaitu: belajar dan motivasi.

6.      TEORI HUMANISTIK
Beberapa pandangan teori humanistik tentang belajar dan pembelajaran adalah sebagaimana dirangkum berikut ini (Sudjana:60-81, Muhibbin Syah Dalam Fathurrohman dan Sutikno, 2007: 34):
1.    Siswa akan mempersepsi pengalaman belajarnya sesuai dengan kebutuhan belajarnya serta menginternalisasi pengalaman tersebut ke dalam dirinya secara aktif. Oleh sebab itu, salah satu peran guru adalah membantu tumbuhnya pengalaman-pengalaman baru yang dirasakan manfaatnya bagi kehigupan siswa dan kehidupannya.
2.    Pendekataan belajar dan pembelajaran teori humanistik adalah berpusat kepada siswa atau “leaner centered” yang diterapkan dengan menggunakan prinsip-prinsip “self determination” dan “self-directions”. Untuk itu pembelajaran dilakukan dengan memberikan kebebasan kepada siswa untuk menentukan sendiri apa yang dipelajari sesuai dengan ketersediaan sumber-sumber belajar. Dalam konteksi ini guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator.
3.    Perilaku adalah perwujudan diri, oleh karena itu belajar dan pembelajaran berfungsi sebagai sarana dan prasarana bagi siswa untuk mengembangkan dirinya sendiri menjadi manusia yang mandiri.
4.    Teori ini menekankan pentingnya peran motivasi dalam diri siswa dalam belajar. Salah satu dari tokoh yang mengembangkan teori ini yakni Abraham Moslow mengemukakan hirarki motivasi yang didasarkan pada tingkat dan jenis kebutuhan manusia yaitu : kebutuhan, fisiologi, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosiologi, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar